Minggu, 02 April 2017

kamu, dimataku pada saat itu

Dalam tatapan mata yang menjurus kepada laki-laki yang bertubuh tinggi tegap dengan kulit sawo matang dan kacamata yang selalu ia kenakan. Ada rasa yang tiba dari pandangan itu. Rasa yang memberikan kenyamanan dalam hati. Seperti angin yang berhembus ketika terik siang yang menghantam, sungguh menenangkan. Perlahan ia semakin dekat dan lebih dekat, aku perlahan mengalihkan perhatianku pada ikan-ikan kecil yang berada di bawah joglo embung. Memandang ke dalam air dan melihat siluet wajahku yang tergaris dalam air yang sedikit keruh namun masih menampakkan rona-rona ikan kecil yang berenang di dalamnya. Aku merasakan rona merah muda di kedua pipiku. Lekasku hilangkan rona wajahku dan lamunan sekilas tentangnya dan membenamkan mataku pada layar hp. Aku berusaha untuk tampak biasa saja.
Aku tak banyak menatap wajahnya. Seringku menunduk dan sesekali menyapu pemandangan yang ada di depanku. Burung kecil yang terbang ke langit yang tinggi atau seorang wanita dengan jilbab biru yang menjulur ke bawah menutupi dadanya. Sepoi angin yang merayu mataku untuk menolehkan wajah ke mukanya dan rayuan itu berhasil. Sekali ku menolehkan wajahku ke hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Tampak lebih tinggi dan lebih gagah serta lebih proporsional dibanding imajiku tentangnya selama ini. Baik, kali ini dia mendapat nilai lebih di hadapanku.
Dia tak banyak bicara denganku. Dia hanya bicara pada orang yang dia kenal. Sesekali dia membuat lelucon dan aku hanya bisa tersenyum. Aku tak ada niatan untuk membuka keakraban dengannya, waktu itu.
Selang beberapa saat, ketika aku telah usai sarapan bersama teman yang lain, dia mulai membuat keusilan dengan mengejek gaya makanku yang sangat lambat. Oke fine, aku tak akan memulai perdebatan denganmu. aku hanya tertawa kecil dan melanjutkan perjalanan menuju Tinjomoyo.
Di posko aku dan dia duduk bersampingan. Dari sinilah aku mulai mengenai sosoknya yang selalu riang yang selalu membuat orang lain tertawa bahagia.
Dia selalu membawa kamera dan segala perlengkapannya. Kebiasaan dia mengabadikan perjalanan dan apapun yang ia lakukan. 
Aku mengintip dari bali jendela kamarmu. Melihatmu termenung cukup lama, ku beranikan untuk mendekatimu. Meski dengan sedikit keraguan. Dengan langkah yang sedikit ragu aku menujumu. Berusaha mengatur nafas dan mempersiapkan kata agar tak salah berucap denganmu yang tengah merindukan rumah.
Aku berusaha mensejajarkan tubuhku di sampingmu namun tak pernah berhasil. Bagaimana tidak? Tubuhmu yang lebih tinggi dariku dan bisa dengan mudah menyandarkan tangan di gerbang depan rumah sedang aku harus berjijit terlebih dahulu untuk sepertimu. Kamu tau? Hal yang membuatku lega adalah senyumanmu yang mengembang dengan renyah ketika melihat usahaku menyamai gayamu. Aku terkekeh lalu mengarahkan mataku pada langit senja.
“Aku suka senja. Suasananya menenangkan.”, kataku.
“Aku juga.”, katamu singkat.
Sempat beberapa waktu kita tak berkata-kata lagi. Mata kita tertuju pada langit yang menenangkan. Suasana yang sepi yang sesekali ayam depan rumah berkokok yang seketika itu membuncahkan lamunanmu.
“Aku ingin seperti Pak Ardi. Ketika beliau pulang selalu ada riuh bahagia dan tawa dari anak-anak dan kecup tangan dari istrinya. Atau Bu Cici yang setiap pulang bekerja selalu melihat wajah suami tercinta. Sedang aku, ketika aku membuka pintu rumah dan ucapkan salam tak ada yang membalasnya. Hanya sepi dan gelap yang ada. Terkadang aku pun yang menjawab salamku.” Katamu sambil melipat tanganmu lagi dan menghela nafas.
Aku diam. Sesekali menatap tubuh besar dan tingginya. Menatap rambutnya yang tak rapi lagi, mukanya yang mencerminkan kelelahan, dan matanya yang massih mengarah pada langit yang berlahan menjadi jingga.
“Suatu saat nanti. Kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang serupa dengan mereka. Dengan wanita yang kamu cintai. Suatu saat nanti, akan ada teh yang tersaji dengan camilan seadanya di meja. Akan ada seorang wanita yang selalu menunggumu di depan rumah dengan buah cinta kalian. Menyambutmu pulang dengan sangat hangat. Ya, suatu saat nanti. Kamu hanya perlu bersabar. Selesaikan saja apa yang menjadi tugasmu saat ini.” Aku berusaha menenangkanmu dengan kata yang sangat hati-hati aku ucapkan.
Kamu dan aku masih melanjutkan perbincangan ditengah hembusan angin senja. Waktu itu, kamu mengajakku berbincang soal masa depan, tentang rumah impian yang akan kamu bangun bersama istri dan tentunya bersama anak-anakmu nanti. Kamu menginginkan rumah yang sederhana, tak terlalu besar dengan ornamen klasik dan modern yang berpadu. Memberikan nuansa indah. Ruang yang sangat kamu impikan adalah ruang keluarga. Dimana kamu, istrimu, dan anak-anakmu berkumpul setiap sore saat kamu pulang dan malam hari ketika berlajar. Televisi, meja bundar beserta karpet dan bantal duduk juga rak yang penuh dengan buku. Entah buku sastra atau buku pengetahuan. Ya, bisa dikatakan sebagai mini perpustakaan.
Hal yang kamu selalu inginkan ketika kamu pulang kerja adalah sambutan dari orang-orang tercinta kemudian duduk bersama sambil menikmati senja dengan secangkir teh dan camilan yang telah disediakan.

Aku tersenyum kepadanya. Melihat rona matamu yan berbinar dan sedikit semangat yang kembali pulih hatiku semakin tersenyum. Adzan maghrib berkumandang. Aku mengajaknya untuk masuk ke rumah dan menunaikan sholat magrhib. 

Kamis, 23 Maret 2017

senja yang merajuk rindu

Aku merindui senja dan khayalan yang hadir diantara kita. Senja yang hadir pada langit. Menggoreskan cahaya merah pada langit biru dan menggantikannya dengan gelap malam dan sedikit bintang bercahaya waktu itu. Cahyanya membuat siluet yang indah pada pohon-pohon yang meranggas dan menyisakan batang dan ranting. Juga pada atap rumah yang tak jauh dari pandangan kita. Angin berembus. Angin yang berembus pada ranting pada daun pada semak-semak yang menjadikan melodi pengatar senja dan kamu yang berusaha menyendiri di depan rumah lantas menyadarkan kedua tangan di atas gerbang depan rumah.
Tatapanmu seolah kosong. Terlihat dari bola matamu yang menerawang jauh pada langit biru. Raut wajahmu sedikit mengekspresikan lelah yang bercampur rindu. Lantas menghela napas panjang dan teringat bahwa pekerjaan masih belum terselesaikan. Sesekali kamu menolehkan kepalamu ke dalam rumah yang selalu sepi dengan gelagat tawa dan canda. Bagaimana tak selalu sepi jika di rumah hanya kamu seorang. Tak ada teman untuk berbagi keluh kesah atau canda tawa. Harimu selalu sepi. Terutama jika malam tiba. Hanya alunan musik alam yang akan menemanimu beraktivitas atau musik-musik lain yang kamu ciptakan untuk menemani malammu.
Kamu berdiri sudah cukup lama. Pikiranmu telah melayang jauh pada rindu yang semakin menderu pada rumah yang tak sabar menyapamu dengan ramah. Kebersamaan dengan keluarga yang tak kamu dapatkan di rumah yang kini kamu tempati. Riuh canda tawa, obrolan-obrolan malam yang berujung pada petuah-petuah ajaib yang tercurah dengan tulus dari hati seorang ibu kepada anaknya yang sedang berjuang di tanah rantau. Kamu selalu merindukan sosok perempuan pada rumah itu, yang selalu membuatmu bisa tersenyum dan kembali bangkit disaat hati yang telah berkali-kali patah karena wanita, disaat hati benar-benar goyah karena masalah, disaat kamu dihadapkan pada dilema yang harus kamu akhiri.
Kamu ingin sekali kembali dan menyapanya meski hanya sebentar. Namun keinginan itu hanya sebatas angan-angan saja. terbentur pada kisah yang pernah kamu alami. Disaat rindu menderu dan ego berhasil memaksamu untuk pulang dan menyapa mereka. Lantas yang kamu terima bukan sapa hangat namun kata yang yang menyayat hati hingga berujung pada kepulanganmu kembali. Kamu masih ingat benar kata-kata itu. “kembalilah. Dan jangan pernah pulang kemari jika urusan dan tanggungjawabmu belum kau selesaikan”
@pkwriterpreneur 
pkwriterpreneur
DAY1