Aku mengintip dari bali jendela kamarmu.
Melihatmu termenung cukup lama, ku beranikan untuk mendekatimu. Meski dengan
sedikit keraguan. Dengan langkah yang sedikit ragu aku menujumu. Berusaha
mengatur nafas dan mempersiapkan kata agar tak salah berucap denganmu yang
tengah merindukan rumah.
Aku berusaha mensejajarkan tubuhku di
sampingmu namun tak pernah berhasil. Bagaimana tidak? Tubuhmu yang lebih tinggi
dariku dan bisa dengan mudah menyandarkan tangan di gerbang depan rumah sedang
aku harus berjijit terlebih dahulu untuk sepertimu. Kamu tau? Hal yang
membuatku lega adalah senyumanmu yang mengembang dengan renyah ketika melihat
usahaku menyamai gayamu. Aku terkekeh lalu mengarahkan mataku pada langit
senja.
“Aku suka senja. Suasananya
menenangkan.”, kataku.
“Aku juga.”, katamu singkat.
Sempat beberapa waktu kita tak berkata-kata
lagi. Mata kita tertuju pada langit yang menenangkan. Suasana yang sepi yang
sesekali ayam depan rumah berkokok yang seketika itu membuncahkan lamunanmu.
“Aku ingin seperti Pak Ardi. Ketika
beliau pulang selalu ada riuh bahagia dan tawa dari anak-anak dan kecup tangan
dari istrinya. Atau Bu Cici yang setiap pulang bekerja selalu melihat wajah
suami tercinta. Sedang aku, ketika aku membuka pintu rumah dan ucapkan salam
tak ada yang membalasnya. Hanya sepi dan gelap yang ada. Terkadang aku pun yang
menjawab salamku.” Katamu sambil melipat tanganmu lagi dan menghela nafas.
Aku diam. Sesekali menatap tubuh besar
dan tingginya. Menatap rambutnya yang tak rapi lagi, mukanya yang mencerminkan
kelelahan, dan matanya yang massih mengarah pada langit yang berlahan menjadi
jingga.
“Suatu saat nanti. Kamu akan mendapatkan
kebahagiaan yang serupa dengan mereka. Dengan wanita yang kamu cintai. Suatu
saat nanti, akan ada teh yang tersaji dengan camilan seadanya di meja. Akan ada
seorang wanita yang selalu menunggumu di depan rumah dengan buah cinta kalian.
Menyambutmu pulang dengan sangat hangat. Ya, suatu saat nanti. Kamu hanya perlu
bersabar. Selesaikan saja apa yang menjadi tugasmu saat ini.” Aku berusaha
menenangkanmu dengan kata yang sangat hati-hati aku ucapkan.
Kamu dan aku masih melanjutkan
perbincangan ditengah hembusan angin senja. Waktu itu, kamu mengajakku
berbincang soal masa depan, tentang rumah impian yang akan kamu bangun bersama
istri dan tentunya bersama anak-anakmu nanti. Kamu menginginkan rumah yang
sederhana, tak terlalu besar dengan ornamen klasik dan modern yang berpadu. Memberikan
nuansa indah. Ruang yang sangat kamu impikan adalah ruang keluarga. Dimana kamu,
istrimu, dan anak-anakmu berkumpul setiap sore saat kamu pulang dan malam hari
ketika berlajar. Televisi, meja bundar beserta karpet dan bantal duduk juga rak
yang penuh dengan buku. Entah buku sastra atau buku pengetahuan. Ya, bisa
dikatakan sebagai mini perpustakaan.
Hal yang kamu selalu inginkan ketika kamu
pulang kerja adalah sambutan dari orang-orang tercinta kemudian duduk bersama
sambil menikmati senja dengan secangkir teh dan camilan yang telah disediakan.
Aku tersenyum kepadanya. Melihat rona
matamu yan berbinar dan sedikit semangat yang kembali pulih hatiku semakin
tersenyum. Adzan maghrib berkumandang. Aku mengajaknya untuk masuk ke rumah dan
menunaikan sholat magrhib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar