Riana
duduk di balkon mengenang kejadian yang terjadi kemarin sore, ketika dia
memutuskan untuk ikut muncak ke bukit Mahagiri yang bisa dijangkau dengan waktu
2 jam perjalanan.
Irham adalah seorang yang baru ia
kenal di kampusnya. Seorang laki-laki yang sangat ramah dan baik serta gemar
mendaki gunung. Ia juga teman satu rombel Riana di Fakultas Ilmu Budaya.
Sebenarnya, Irham bukan teman barunya, sebelum ia menjadi mahasiswa Irham dan
Riana telah saling mengetahui saja, tidak saling kenal. Barulah ketika di
kampus mereka menjadi benar-benar kenal dan akhirnya akrab.
Pagi itu, Riana berjalan menuju
kampus. Kali ini ia memilih jalan yang berbeda, ia ingin melewati indekos Irham
dengan harapan bisa bertegur sapa dengannya syukur-syukur bisa mengobrol dengan
dia walaupun hanya sebentar. Ternyata, keinginannya terpenuhi. Ketika ia
berjalan melewati indekos Irham, ia melihat Irham sedang duduk di depan teras
indekos bersama teman-temannya yang lain. Irham pun melihat Riana berjalan di
depan indekosnya. Irham menyapa Riana begitupula Riana. Bukan hanya itu saja.
Mereka juga sempat berbincang-bincang mengenai tugas kampus dan organisasi.
Berawal dari perbincangan tersebut, terjadi sebuah kesepakatan bahwa pekan ini, mereka berdua dan teman-teman Irham yang lain untuk mendaki bukit Mahagiri yang tidak jauh dari kota perantauan mereka. Padahal pekan ini adalah pekan Riana sibuk. Ia harus meyelesaikan beberapa laporan prokja yang telah terlaksana dan beberapa artikel yang harus segera dikirim ke media massa. Namun ia mengiayakan ajakan Irham tanpa berpikir panjang. Ia hanya berpikir bahwa bermain hanya satu hari tidak akan merusak agendanya untuk menyelesaikan prokja dan artikel ilmiahnya. Ia bisa menulis artike ilmiah dan laporan prokja setelah selesai mendaki gunung. Jadi, ia memutuskan untuk membawa laptop dan hard file yang diperlukan untuk menyelesaikan tugasnya. Sehingga ia tidak perlu kembali lagi ke indekos untuk mengambil barang-barang tersebut. Ia bisa menyelesaikan tugasnya di markas PMI, rumah ketiga setelag rumahnya yang di Surabaya, dan indekos saat ini. Perjalanan pendakian tidak ada masalah atau kendala apapun. Ia mendaki dengan perasaan yang riang karena ia mendaki bersama Irham. Selain itu, Riana bisa lebih mengakrabkan diri dengan Irham. Riana berharap bahwa ia bisa lebih dekat dengan Irham. Ia berjalan di tengah-tengah teman laki-laki Irham. Sedangkan Irham berjalan paling belakang menjaga teman-teman yang lain karena dialah yang paling sering mendaki dan bisa menjaga tema-temannya yang berada di depannya. Ketika saat itu, Riana tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sesampainya di atas bukit, barulah Riana sadar ada sesuatu yang berbeda dari Irham. Irham tidak mengajak Riana berbicara bahkan melempar senyum kepada Riana pun tidak. Teman-teman Irhamlah yang mengajak Riana berbicara dan mengajak untuk berfoto bersama. Sekitar 1,5 jam mereka beristirahat di atas bukit dengan menikmati jajanan yang dibawa dari indekos dan salah satu diantara mereka ada yang memainkan gitar dan mereka bernyanyi bersama. Akhirnya tepat pukul 3 sore, Riana dan Irham serta teman-temannya menuruni bukit tersebut. Cuaca bukit tiba-tiba mendung, menandakan bahwa akan turun hujan. Benar, selang beberapa menit hujan mengguyur perjalanan mereka. Riana mulai panik. Sebenarnya ia memiliki phobia dengan petir. Badannya sudah mulai menggigil dan wajahnya pucat. Sesekali ia berlindung di balik tas ransel salah satu teman Irham yang berada di depannya ketika melihat kilatan petir yang menyambar. Hingga akhirnya, asma yanng ia derita mulai kambuh. Sayang, dia tidak membawa peralatan obat yang harusnya ia bawa. Selain itu, ia juga kehujanan ketika menuruni bukit. Tas ransel yang ia bawa ia tidak sempat ia beri mantel. Tas ranselnya basah kuyub. Akhirnya, teman-teman Irham berinisiatif untuk menggendong Riana sampai ke posko yang tidak jauh dari tempat mereka berjalan. Hanya sekitar 200 meter lagi. Sedangkan Irham sama sekali acuh. Ketika sampai di posko, mereka memberikan pertolongan pertama kepada Riana. Memberikan Oxican sebagai pertolongan pertama. Semprotan pertama, kedua, dan ketiga membuat Riana semakin membaik. Ia bisa bernafas lega tanpa merasakan sesak lagi. Namun badannya masih lemah. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk beristirahat di sana. Teman-teman Irham bergantian menghibur Riana. Ada yang membuatkan mie instan dan ada juga yang membuatkan teh hangat bahkan ada juga yang menghibur dengan cara bercanda dengannya. Riana pun perlahan membaik. Namun dia tampak sedih karena bukan Irham yang peduli dengannya namun teman-temannya yang peduli dengan Irham. Ia sangat menyesalkan perbuatan Irham. Selain itu, ada hal lain yang membuatnya sedih yaitu ketika ia meminta untuk mengambilkan tas ranselnya. Ternyata tas ranselnya basah kuyub dan hard file yang ada di dalam tas basah, tidak bisa dibaca. Bahkan laptopnya pun basah sehingga harus segera di service agar kerusakan tidak terlalu parah. Riana menitikkan air mata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Semua laporannya telah rusak da ia harus mengulang dari awal.
Berawal dari perbincangan tersebut, terjadi sebuah kesepakatan bahwa pekan ini, mereka berdua dan teman-teman Irham yang lain untuk mendaki bukit Mahagiri yang tidak jauh dari kota perantauan mereka. Padahal pekan ini adalah pekan Riana sibuk. Ia harus meyelesaikan beberapa laporan prokja yang telah terlaksana dan beberapa artikel yang harus segera dikirim ke media massa. Namun ia mengiayakan ajakan Irham tanpa berpikir panjang. Ia hanya berpikir bahwa bermain hanya satu hari tidak akan merusak agendanya untuk menyelesaikan prokja dan artikel ilmiahnya. Ia bisa menulis artike ilmiah dan laporan prokja setelah selesai mendaki gunung. Jadi, ia memutuskan untuk membawa laptop dan hard file yang diperlukan untuk menyelesaikan tugasnya. Sehingga ia tidak perlu kembali lagi ke indekos untuk mengambil barang-barang tersebut. Ia bisa menyelesaikan tugasnya di markas PMI, rumah ketiga setelag rumahnya yang di Surabaya, dan indekos saat ini. Perjalanan pendakian tidak ada masalah atau kendala apapun. Ia mendaki dengan perasaan yang riang karena ia mendaki bersama Irham. Selain itu, Riana bisa lebih mengakrabkan diri dengan Irham. Riana berharap bahwa ia bisa lebih dekat dengan Irham. Ia berjalan di tengah-tengah teman laki-laki Irham. Sedangkan Irham berjalan paling belakang menjaga teman-teman yang lain karena dialah yang paling sering mendaki dan bisa menjaga tema-temannya yang berada di depannya. Ketika saat itu, Riana tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sesampainya di atas bukit, barulah Riana sadar ada sesuatu yang berbeda dari Irham. Irham tidak mengajak Riana berbicara bahkan melempar senyum kepada Riana pun tidak. Teman-teman Irhamlah yang mengajak Riana berbicara dan mengajak untuk berfoto bersama. Sekitar 1,5 jam mereka beristirahat di atas bukit dengan menikmati jajanan yang dibawa dari indekos dan salah satu diantara mereka ada yang memainkan gitar dan mereka bernyanyi bersama. Akhirnya tepat pukul 3 sore, Riana dan Irham serta teman-temannya menuruni bukit tersebut. Cuaca bukit tiba-tiba mendung, menandakan bahwa akan turun hujan. Benar, selang beberapa menit hujan mengguyur perjalanan mereka. Riana mulai panik. Sebenarnya ia memiliki phobia dengan petir. Badannya sudah mulai menggigil dan wajahnya pucat. Sesekali ia berlindung di balik tas ransel salah satu teman Irham yang berada di depannya ketika melihat kilatan petir yang menyambar. Hingga akhirnya, asma yanng ia derita mulai kambuh. Sayang, dia tidak membawa peralatan obat yang harusnya ia bawa. Selain itu, ia juga kehujanan ketika menuruni bukit. Tas ransel yang ia bawa ia tidak sempat ia beri mantel. Tas ranselnya basah kuyub. Akhirnya, teman-teman Irham berinisiatif untuk menggendong Riana sampai ke posko yang tidak jauh dari tempat mereka berjalan. Hanya sekitar 200 meter lagi. Sedangkan Irham sama sekali acuh. Ketika sampai di posko, mereka memberikan pertolongan pertama kepada Riana. Memberikan Oxican sebagai pertolongan pertama. Semprotan pertama, kedua, dan ketiga membuat Riana semakin membaik. Ia bisa bernafas lega tanpa merasakan sesak lagi. Namun badannya masih lemah. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk beristirahat di sana. Teman-teman Irham bergantian menghibur Riana. Ada yang membuatkan mie instan dan ada juga yang membuatkan teh hangat bahkan ada juga yang menghibur dengan cara bercanda dengannya. Riana pun perlahan membaik. Namun dia tampak sedih karena bukan Irham yang peduli dengannya namun teman-temannya yang peduli dengan Irham. Ia sangat menyesalkan perbuatan Irham. Selain itu, ada hal lain yang membuatnya sedih yaitu ketika ia meminta untuk mengambilkan tas ranselnya. Ternyata tas ranselnya basah kuyub dan hard file yang ada di dalam tas basah, tidak bisa dibaca. Bahkan laptopnya pun basah sehingga harus segera di service agar kerusakan tidak terlalu parah. Riana menitikkan air mata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Semua laporannya telah rusak da ia harus mengulang dari awal.
Meskipun begitu, Irham tidak
langsung menghibur Riana. Ia hanya mendekati Riana dan berkata “Semoga cepat
sembuhnya. Maaf kalau perjalanan muncak ini membuat tugas-tugasmu berantakan”.
Riana sangat sedih, ketika Irham tidak ada upaya untuk membantu Riana
menyelesaikan tugas atau sekadar memberikan semangat. Riana kecewa. Ia
mengandaikan bahwa ia tidak mengiyakan tawaran Irham, ia pasti tidak akan
seperti ini dan laporan pasti telah terselesaikan. Jika begini, ia harus
mengulang dari awal. Pengalaman ini memang sungguh membuat Riana terpukul dan
kecewa. Ia berjanji untuk tidak akan mengulang hal sepenrti ini kembali. Lebih
baik ia menyelesaikan tugasnya sebelum ia membuat kegiatan bersama teman-teman
yang lain. Kali ini, Riana hanya bisa pasrah dan kembali bersemangat
mengerjakan laporan.
Kejadian ini, membuatnya trauma
untuk mendaki bukit. Ia bertekad untuk tidak pergi mendaki bukit Mahagiri lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar